Pelajaran dari seorang perempuan yang dulu pernah tinggal
bersama rasanya masih terus terngiang. Rasa sedih seolah tidak pernah hilang. Orang
yang bertahan dalam pertempuran memang bisa dianggap sebagai orang yang hebat. Musuh
yang dianggap sebagai rintangan selalu dihadapi oleh prajurit yang berani
berperang.
Tapi apakah aku masih pantas ketika masih ada dalam
pertempuran yang hanya berdiam diri? Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk
menyerang. Rasa takut untuk bertempur masih mengkarakter. Jangankan berperang,
bertahan pun aku tidak mampu. Mungkin orang yang berasumsi yang bertahan dalam
medan pertempuran adalah orang yang hebat. Tapi kenapa rintangan yang aku
hadapi dianggap sebagai musuh.
Aku tidak menyangka kepada teman yang dulunya dicaci maki
karena dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab kepada satu bendera.
Tetapi keberadaanku jauh lebih hina ketimbang orang yang terlihat hina. Secara tidak
langsung aku telah mencaci maki bendera yang diangap sakral.
Aku salut pada teman yang satu ini. Banyak karya yang
dihasilkan setelah ia masuk pada sebuah pelatihan yang memmiliki orientasi
sama. Berbeda halnya dengan aku yang setiap hari tidak ada motivasi untuk
menaburkan karya-karya ini agar bisa menjadi ilmu bagi semua orang.
Semoga apa yang diasumsikan oleh orang mengenai bertahan
ditempat tempur adalah tidak begitu hebat. Memang, ketika kita melihat teman
akrab yang dulu telah keluar dari tempat pelatihan kita dikecam sebagai orang
yang penghianat. Tapi, bagiku itu adalah sebuah tantangan besar bagi teman
dekatnya agar karyanya tidak melebur dimakan oleh waktu.
Motivasi memang sangat diharapkan bagi seorang yang sedang
belajar. Agar, apa yang ia cita-citakan dapat terwujud dengan sempurna. Ironis jika
harus belajar dengan tingkat tinggi, namun pada akhirnya akan menyebabkan
kegagalan.
Aku henti-hentinya memuji teman seperjuanganku dulu. Semoga apa
yang ia impikan cepat terwujud. Aku sangat optimis bahwa dia akan menjadi orang
hebat, yang tidak akan lupa pada keluarganya, serta budayanya. Karena ilmu yang
ia cari bukan untuk melupakan budaya, melainkan ntuk memperkuat budayanya.
Pada saat ia pergi dari obralanku dengannya, ia mendoakan
agar aku menjadi orang yang hebat pada sebuah tempat pelatihan. Dengan refleks
aku berkata Mustahil. Aku sendir bingung kenapa tiba-tiba aku
mengucapkan kata-kata yang tidak patut untuk disebutkan jika hal itu masih
perbincangan yang baik.
Tapi, dia hanya
tersenyum sambil mengatakan tidak ada yang tidak mungkin. Hatiku ketika itu
tergetar oleh kata-katanya. Sebab, aku seolah melihat sasi yang bisa
mempertanggungjawankan ketika aku gagal nanti. Bagaimana tida, aku telah
melihat saksi bahwa dia adalah orang yang sukses. Meski dulunya dianggap orang
yang tidak sukses.
0 komentar:
Posting Komentar