Perjalanan hidup rasanya sangat
melelahkan. Bagaimana tidak, setiap hari yang dilakukan hanyalah patuh pada
hukum yang berlaku di tempat seseorang tinggal. Apa lagi di era saat ini, orang-orang sudah tidak lagi menganggap hukum
sebagai satu pegangan yang dianggap “sakral”. Sudah banyak orang yang menganggap
hukum hanya sebagai simbol “keamanan” publik –padahal pembuat hukum sendiri
selalu melanggar.
Jinok Barata, nama seorang mahasiswa
yang tinggal di daerah perkotaan metropolitan, tepatnya berada di samping
tempat ia menuntut ilmu. Sudah hampir 2 tahun ia belajar di sebuah universitas
ternama ini. Memang, ilmu yang ia serap sejak pertama kali masuk sangat bisa
diandalkan dalam menyelesaikan setiap masalah. Namun, satu masalah yang sulit
ia pecahkan, yakni usaha untuk menyadarkan orang-orang yang berada
disekelilingnya, sebut saja sulit untuk menjinakkan “binatang” sirkus.
Hampir setiap hari Jinok melihat
fenomena yang sangat bertentangan dengan moral “kemahasiswaan”. Ia menganggap
binatang-binatang itu lupa dengan tujuan sebelumnya. Penjabaran terhadap
kegiatan yang dilakukan oleh binatang sirkus itu kiranya tak perlu dituliskan.
Tapi yang jelas, tujuan mulia sebelumnya yaitu pembelajaran sudah tidak lagi
menggunakan metode yang menjadi khas semestinya bagaimana binatang-binatang itu
dilatih—bagaimana seharusnya cara mahasiswa menyikapi proses menaati hukum.
Inilah yang menjadikan Jinok sebagai
mahasiswa yang selalu berefleksi tanpa ampun. Namun, ia percaya hukum karma
masih berlaku. Dengan filosofinya yang menang tetaplah menang, dan yang kalah
tetap harus kalah. Meski pada kenyataannya Jinok masih merasakan pada posisi
yang terbilang kalah. Maksudnya, jinok masih belum merasakan “kebebasaan” dari
lingkungan yang tidak sadar hukum. Tidak bisa dinafikkan, seandainya Jinok
bertindak keras terhadap benteng-benteng yang masih menghadangnya untuk sampai
pada kebebasan masih tidak bisa
dilakukan.
Kesadaran terhadap hal-hal yang telah
dilegitimasi sebagai pembenaran memang masih jauh. Bahkan sulit untuk
diprediksi bagaimana akhir dari kekhilafan binatang sirkus terhadap orang yang
telah memiaranya hingga mampu menjadikan binatang tersebut memiliki nilai jual
yang tinggi. Jinok selalu menyadari fenomena itu dengan mengaitkan rencana
emasnya, bahwa ia bisa menjadi medium untuk mengantarkan pada satu kesadaran yang
harus tunduk pada hukum yang telah menjadi konsensus.
Semoga saja perjuangan Jinok tidak
berakhir pada titik “kekalahan”, Melainkan sampai pada satu kemenangan bersama.
Tentu harapan ini tidak bisa terwujud jika hanya diperjuangkan oleh Jinok
seorang. Agaknya kita tidak bisa membiarkan Jinok merasakan kepedihan ini,
sementara kita yang tidak memperjuangkannya hanya tinggal menunggu hasil
kemenangan.
Alhamdulillah, lumayan. setelah berfikir keras. akhirnya tulisannya jadi. he
BalasHapus