Home » » Binatang Sirkus

Binatang Sirkus





Perjalanan hidup rasanya sangat melelahkan. Bagaimana tidak, setiap hari yang dilakukan hanyalah patuh pada hukum yang berlaku di tempat seseorang tinggal. Apa lagi di era saat ini,  orang-orang sudah tidak lagi menganggap hukum sebagai satu pegangan yang dianggap “sakral”. Sudah banyak orang yang menganggap hukum hanya sebagai simbol “keamanan” publik –padahal pembuat hukum sendiri selalu melanggar.

Jinok Barata, nama seorang mahasiswa yang tinggal di daerah perkotaan metropolitan, tepatnya berada di samping tempat ia menuntut ilmu. Sudah hampir 2 tahun ia belajar di sebuah universitas ternama ini. Memang, ilmu yang ia serap sejak pertama kali masuk sangat bisa diandalkan dalam menyelesaikan setiap masalah. Namun, satu masalah yang sulit ia pecahkan, yakni usaha untuk menyadarkan orang-orang yang berada disekelilingnya, sebut saja sulit untuk menjinakkan “binatang” sirkus.

Hampir setiap hari Jinok melihat fenomena yang sangat bertentangan dengan moral “kemahasiswaan”. Ia menganggap binatang-binatang itu lupa dengan tujuan sebelumnya. Penjabaran terhadap kegiatan yang dilakukan oleh binatang sirkus itu kiranya tak perlu dituliskan. Tapi yang jelas, tujuan mulia sebelumnya yaitu pembelajaran sudah tidak lagi menggunakan metode yang menjadi khas semestinya bagaimana binatang-binatang itu dilatih—bagaimana seharusnya cara mahasiswa menyikapi proses menaati hukum.

Inilah yang menjadikan Jinok sebagai mahasiswa yang selalu berefleksi tanpa ampun. Namun, ia percaya hukum karma masih berlaku. Dengan filosofinya yang menang tetaplah menang, dan yang kalah tetap harus kalah. Meski pada kenyataannya Jinok masih merasakan pada posisi yang terbilang kalah. Maksudnya, jinok masih belum merasakan “kebebasaan” dari lingkungan yang tidak sadar hukum. Tidak bisa dinafikkan, seandainya Jinok bertindak keras terhadap benteng-benteng yang masih menghadangnya untuk sampai pada  kebebasan masih tidak bisa dilakukan.

Kesadaran terhadap hal-hal yang telah dilegitimasi sebagai pembenaran memang masih jauh. Bahkan sulit untuk diprediksi bagaimana akhir dari kekhilafan binatang sirkus terhadap orang yang telah memiaranya hingga mampu menjadikan binatang tersebut memiliki nilai jual yang tinggi. Jinok selalu menyadari fenomena itu dengan mengaitkan rencana emasnya, bahwa ia bisa menjadi medium untuk mengantarkan pada satu kesadaran yang harus tunduk pada hukum yang telah menjadi konsensus.

Semoga saja perjuangan Jinok tidak berakhir pada titik “kekalahan”, Melainkan sampai pada satu kemenangan bersama. Tentu harapan ini tidak bisa terwujud jika hanya diperjuangkan oleh Jinok seorang. Agaknya kita tidak bisa membiarkan Jinok merasakan kepedihan ini, sementara kita yang tidak memperjuangkannya hanya tinggal menunggu hasil kemenangan.

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, lumayan. setelah berfikir keras. akhirnya tulisannya jadi. he

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.