Dalam buku OLIGARCHY, Winters melakukan studi tentang oligarki dan
elit dengan berpijak pada kasus-kasus historis dan kontemporer. Konsep yang
dibangunnya berbasis pada kasus-kasus nyata yang dialami oleh negara-negara di
dunia mulai dari Athena, Roma, Eropa Abad Pertengahan, Amerika hingga
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tampaknya ia membangun kerangka
analisisnya dengan cara berfikir induktif, yakni menemukan kasus-kasus nyata
yang ada dalam kenyataan, kemudian mengkonseptualisasikannya dengan membuat
kategorisasi.
Hasil dari kategorisasi yang dibangunnya kemudian menghasilkan 4
jenis oligarki, yakni warring oligarchies, ruling oligarchies, sultanistic
oligarchies dan civil oligarchies. Pertama, warring oligarchiesruling
oligarchies yang di dalamnya para oligarkis mampu menggunakan pengaruhnya untuk
melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi demi keuntungan kaum
oligarkis, yaitu mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan. Contoh
negara-negara yang pernah mengalami fase jenis oligarki ini adalah Athena, Roma
dan Italia. Ketiga, sultanistic oligarchiescivil oligarchies, yaitu kebersamaan
kaum oligarkis yang saling berbagi dengan sesamanya tanpa ada monopoli oleh
satu pihak.
Dalam bentuk ini dimungkinkan tunduknya kaum oligarkis kepada satu
sistem hukum yang mengatur mereka. Contoh negara-negara yang pernah mengalami
fase jenis oligarki ini adalah Amerika Serikat dan Singapura. Dari 4 jenis
oligarki yang ada, menurutnya civil oligarchies adalah bentuk oligarki yang
terbaik karena kekuasaan terdistribusi secara merata dan cara mengelolanya
berbarengan dengan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap hukum yang berlaku.
Ina dalah bentuk oligarki yang sangat ekstrim dan penuh konflik sesama kaum
oligarkis. Persekutuan sesama oligarkis dalam bentuk ini tidak stabil.
Kompetisi berlangsung penuh dengan kekerasan dan terus-menerus
karena fragmentasi yang tajam. Contoh negara-negara yang pernah mengalami fase
jenis oligarki ini adalah negara-negara Eropa pada abad pertengahan. Kedua,
dengan ciri utama adanya seorang oligarkis yang sangat dominan mengatur banyak
aspek selayaknya seorang raja. Contoh negara-negara yang pernah mengalami fase
jenis oligarki ini adalah Indonesia pada masa Soeharto dan Filipina pada masa
Marcos. Yang menarik dari kerangka analisisnya adalah ia mencoba
memberikan perspektif yang berbeda dari para pengamat barat yang lain, seperti
Robison, Emerson dan Liddle.
Mayoritas pengamat yang ada selama ini lebih cenderung melihat
fenomena politik Indonesia dengan menggunakan developmental-capitalist
paradigm. Misalnya Emerson yang berpandangan bahwa terciptanya rezim Orde baru
yang stabil dan terinstitusionalisasi adalah dikarenakan persebaran
kapitalisme, pasar dan meningkatnya kompleks ekonomi yang terintegrasi dengan
Western patnership. Sementara Liddle berpendapat bahwa kesuksesan Orde Baru
adalah karena kepandaian pribadi Soeharto dalam manajemen politiknya.
Namun, dalam hal ini Winters justru berpendapat bahwa kesuksesan
oligarki sultanistik ala Soeharto adalah dikarenakan kemampuannya dalam
menghalangi pembangunan institusional dan menelikung proses tersebut untuk
menyelaraskan tujuan dan aturan pribadinya, yang dilakukan dengan berbagai cara
untuk menggenggam kekayaan di tangan pribadinya. Hal tersebut kadang-kadang
dilakukannya bersama dengan capitalist entrepreneurs maupun aktor-aktor lain
yang memiliki akumulasi kekayaan. Akhir dari argumen yang dibangunnya adalah
bahwa oligarki sultanistik zaman Orde Baru berhasil mencapai kesuksesan
gemilangnya lebih dengan cara pengerukan sumber daya alam (wealth extraction)
daripada dengan penciptaan kakayaan (wealth creation) (hlm. 139-140).
Satu hal yang menarik adalah, meskipun Winters mengkritisi
perspektif para pengamat barat lainnya yang menurutnya lebih memakai paradigma
developmental-capitalist, ia tidak berbeda pendapat tentang adanya kekuatan
kapitalisme global yang eksis di zaman Orde Baru. Namun, menurutnya integrasi
kedalam kapitalisme dan pasar global tersebut lebih banyak menguntungkan
aktor-aktor dan firma-firma asing daripada mendukung kemunculan oligarki
Indonesia. Ia menyebutkan contoh bahwa Pertamina pada waktu itu lebih banyak
memberikan keuntungan kepada firma-firma asing daripada memberikan manfaat
untuk oligarki domestik. (hlm. 142).
Agaknya konsep oligarki yang dimaksud Winters disini adalah kekuasaan
sebagian orang yang menjadikan kekayaan (wealth) sebagai tujuan utamanya,
bahkan mungkin menjadi pra-syarat utama munculnya kaum oligarki. Jika tidak ada
kekayaan, maka tidak akan ada oligarki. Hal ini tercermin dari pemikirannya
dalam mendefinisikan oligarki sebagai “the politics of wealth defense by
materially endowed actors” (hlm. 7) dan mengatakan bahwa kaum oligarkis sebagai
“actors who command and control massive consentration of material resources
that can be deployed to defend or enhance their personal wealth and exclusive
social position”. (hlm. 6).
Akan tetapi, ia tidak serta merta menyamakan kaum oligarkis dengan
kaum kapitalis, pemilik bisnis atau CEO perusahaan. Perbedaan antara kapitalis
dengan oligarkis adalah pada cara penguasaan sumber daya material oleh
aktor-aktornya. Jika kapitalis menguasainya dengan cara ekonomi (economically),
maka oligarkis menguasainya secara politik (politically). (hlm. 8).Menurut
Winters, Indonesia di masa Orde Baru lebih tepat disebut sebagai criminal
democracy dimana kaum oligarkis berpartisipasi secara permanen dalam
proses-proses pemilihan sebagai instrument pembagian kekuasaan politik dengan
menggunakan intimidasi dan rayuan kekuasaan demi memperoleh legal system.
Disana peran Soeharto hanyalah menciptakan powerful stratum of
oligarchs yang berdiri secara independen dari dirinya, sehingga oligarki
tersebut akan tetap eksis meskipun peran eksistensialnya pudar ataupun
berakhir.Pasca kejatuhan Soeharto pada 1998, Winters menyebutkan dualisme efek
yang menyertainya. Disatu sisi ia menghasilkan transisi menuju demokrasi tapi
diwaktu yang sama ia juga menyebabkan transisi menuju ruling oligarchy yang
belum jinak (an untamed ruling oligarchy), sehingga proses demokrasi yang ada
pasca Orde Baru masih tetap diwarnai oleh peran kaum oligarkis yang saling
bekerjasama dan berkompetisi.
Beberapa kritik terhadap pemikiran Winters dalam buku ini yang
mungkin perlu dikaji lebih jauh adalah tentang:
1. Kategorisasi oligarki yang
dibuatnya memang cukup menarik untuk melihat sebuah fenomena general. Namun,
cara berfikir strukturalis terkadang bersifat reduksionistik (menyederhanakan
persoalan) dan hanya melihat narasi besar (grand narration) yang tampak sebagai
sebuah fakta sosial-politik. Ia terkadang kurang cermat melihat realitas lain
yang tersembunyi dibalik fakta. Hal ini tampak dari cara analisis Winters yang
cenderung menampilkan fakta-fakta mainstream.
2. Ia cenderung terlalu
mengasumsikan entitas kekayaan (wealth) sebagai sebuah tujuan utama dari
eksistensi kaum oligarkis di sebuah negara. Padahal, sebetulnya eksistensi
oligarki dimanapun bisa disebabkan oleh dimensi-dimensi yang tidak tunggal. Dan
analisis sosial-politiknya kurang menyentuh aspek budaya (cultural studies)
sehingga latar belakang budaya dan cara berfikir kaum oligarkis yang dikajinya
tidak banyak terungkap.
3. Ia sama sekali tidak
menyinggung masalah kelas sosial dalam analisis politiknya. Padahal analisis
kelas merupakan salah satu aspek terpenting dalam studi ekonomi-politik.
0 komentar:
Posting Komentar